
Siap menghadapi apapun yang akan terjadi dan bila terjadi maka satu-satunya langkah awal yang harus kita lakukan adalah mengolah hati kita agar ‘Ridho’ (rela) dengan kenyataan yang ada.
Mengapa demikian?, karena walaupun dongkol, uring-uringan, kecewa berat, tetap saja kenyataan sudah terjadi. Pendek kata, ridho tidak ridho kejadiaan tetap sudah terjadi, maka lebih baik hati kita ridho saja menerimanya
Memasak nasi gagal, malah jadi bubur. Andaikata kita memuntahkan kemarahan, tetap saja bubur, tidak marahpun tetap bubur, maka daripada marah mendzolimi orang lain dan memikirkan sesuatu yang membuat hati mendidih, lebih baik pikiran dan tubuh kita sibuk mencari bawang goreng, ayam, cakwe, seledri, keripik dan kecap supaya bubur kita menjadi bubur ayam special.
Tentu selain perasaan kita jadi sengsara, nasi yang gagal pun tetap bisa dinikmati dengan lezat.
Misalkan sedang jalan-jalan, tiba-tiba ada batu kecil nyasar di kening kita, maka hati kita harus ridho, karena tidak ridhopun tetap benjol.. Tenti saja ridho terhadap sesuatu kejadian bukan berarti pasrah total sehingga tidak bertindak apapun, itu adalah pengertian yang keliru.
Pasrah (ridho) itu hanya amalan hati. Kita menerima kenyataan yang ada, tapi pikiran dan tubuh wajib ikhtiar untuk memperbaiki kenyataan dengan cara yang diridhoi Allah Swt.
Kondisi hati yang tenang (ridho) ini sangat membantu menjadikan proses ikhtiar menjadi positif, optimal dan bermutu.
Orang yang stress adalah orang yang tidak memiliki kesiapan mental memerima kenyataan yang ada, selalu saja pikirannya tidak realistis, tidak sesuai dengan kenyataan, sibuk menyesali dan mengandai-andai dengan sesuatu yang sudah tidak ada atau yang tidak mungkin terjadi, sungguh kesengsaraan yang dibuat sendiri.
Misalkan tanah warisan telah dijual tahun yang lalu dan saat ini ternyata harga tanah tersebut melonjak berlipat ganda, maka orang-orang yang malang selalu saja menyesali mengapa dulu tergesa-gesa dijual. Kalau saja ditangguhkan, niscaya akan lebih beruntung, dan biasanya dilanjutkan dengan bertengkar salaing menyalahkan, sehingga semakin lengkap saja penderitaan dan kerugian memikirkan tanah yang nyata-nyata telah menjadi milik orang lain.
Berbadan pendek, sibuk menyesali diri mengapa tidak jangkung (tinggi). Setiap melihat tubuhnya, kecewa, apalagi melihat yang lebih tinggi dari dirinya.
Sayangnya penyesalan ini tidak menambah tingginya walau satu senti pun jua.
Memiliki orang tua kurang mampu atau telah bercerai, atau sudah meninggal, lalu sibuk menyalahkan dan menyesali keadaan bahkan terkadang menjadi tidak mengenal sopan santun kepada keduanya, padahal sikap ini tidak memperkaya atau mempersatukannya, atau menghidupkannya kembali.
Sungguh banyak sekali kesalahan berpikir dan bertindak terhadap apa yang sudah terjadi, yang tidak menambah apapun selain menyengsarakan diri.
Ketahuilah, hidup ini terdiri dari berbagai episode yang tidak akan monoton, ini adalah kenyataan hidup. Silahkan kenang perjalanan hidup kita yang telah lalu.
Benar-benar kita harus arif menyikapi setiap episode dengan lapang dada, kepala dingin dan hati yang ikhlas. Jangan selimuti diri dengan keluh kesah, semua itu tidak menyelesaikan masalah, bahkan bisa jadi sebaliknya.
Kesimpulan : Hati harus ridho menerima apapun kenyataan yang terjadi sambil ikhtiar memperbaiki kenyataan pada jalan yang diridhoi Allah Swt.
Yah selain ihtiar seharusnya juga ikhlas dalam segala hal, biar makin di buka pintu berkah Allah SWT, untuk umatnya, amin salam hangat dari BBM
BalasHapus@Muklis: Betul Kang,... ikhlas memang satu maqam yang penuh perjuangan untuk meraihnya.
BalasHapussalam juga u. kel.semua